Jun 4, 2007

Cintanya yang membara

Tahun 51 Hijriyah, nan jauh disana, seorang pria paruh baya memegang tali kekang kudanya dengan gagahnya. Semua orang sudah tentu mengenalnya. Perjalanannya sudah sejauh ini, tak terasa sudah bertahun-tahun lamanya ia tidak lagi berada disana. Dibumi sang Nabi, Medinah. Kini ia telah berada di Khurasan, tak pernah terbayangkan sebelumnya, panji-panji tauhid telah terpancar pula disini akhirnya. Dan ia, pria paruh baya itu ditunjuk menjadi Gubernurnya. Pria itu adalah sahabat Nabi Namanya al-Rabi’ bin Ziyad al-Haritsy.

Tapi, dentuman imannya sama sekali tidak membiarkannya puas hanya sebagai gubernur Khurasan. Obsesinya tidak memberikannya ruang untuk itu. Ia punya mimpi, mimpi-mimpi iman. Ia baru saja mengibarkan panji tauhid di Sijistan dan wilayah lainnya. Tapi sungguh itu tidak cukup, tidak cukup memuaskan obsesi dan mimpi imannya itu. Dan kali ini dorongan imannya tak mungkin ditawar lagi. “aku berjanji akan menyeberangi sungai Saihun[3] dan dengan izin Allah memancangkan panji tauhid di barisan negeri -ma wara’a an nahr[4]- itu!” demikian itulah bisik hatinya.

Lihatlah barisan mujahid itu. Betapa teduhnya memandang mereka berbaris di belakang sang panglima itu. Engkau tak akan mencium aroma ketakutan sedikitpun. Pandangan-pandangan mata itu hanya menebarkan keberanian menyongsong maut. Mereka terlanjur tergoda oleh bidadari surga yang jelita. Duh, apalagi al-Rabi’ bin Ziyad, sang gubernur sekaligus penglima pasukan islam itu.

Perhatikan siapa yang berdiri di dekatnya, engkau tak akan menyangka bahwa pria muda itu adalah budaknya, yaa… budaknya, tapi bukankah syahid milik siapa saja? Bayangkanlah, betapa indahnya ... islam mengubah seorang budak menjadi salah satu perindu syahadah (mati syahid) di jalanNya. Dan berhak untuk itu… pria muda itu tak lain adalah Farrukh. Iya. Namanya Farrukh, dan ini bukan “perburuan syahadahnya” yang pertama. Dan hingga kini, ia masih setia. Setia menyertai tuannya menjemput surga di bawah kilatan pedangnya.

Pertempuran itupun dimulai, tidak ada yang perlu di tunggu. Ini adalah soal siapa yang akan mendapatkan anugrah syahadah di jalan Allah. “Maaf, di medan ini kita tidak mungkin saling berbagi.” Seolah itulah yang dikatakan oleh para tentara Allah. Ditempat “mulia” seperti ini, seorang panglima takkan membiarkan prajuritnya merebut syuhadah itu, yah, semua berharap segera menyambut anugrah mulia itu.

Suara ringkikan kuda sahut-menyahut, pedang-pedang bagaikan kilat menyambar. Ditingkahi jerit suara manusia meregang nyawa. Debu-debu beterbangan menari-nari di tengah kecamuk perang. Dan disana, lihatlah pemuda Farrukh, sang budak itu bertempur tanpa rasa kecut dan gentar sedikitpun, ia pun sama dengan tentara Allah lainnya. Mengimpikan bidadari surga yang selalu merindukan para syuhada. Al-Rabi’ bin Ziyad, sang panglima itu berulang kali meliriknya, dan ia bangga pada budaknya itu, ia tersenyum di tengah medan pertempuran itu. Dan itu menyemangatinya untuk menuntaskan pertempuran itu, dengan kemenangan atau syahadah di jalanNya.

Hingga akhirnya perang hari itu pun usai. Tentu sangat berat mengalahkan para perindu syuhadah. Musuh-musuh itu sungguh tak lagi sanggup melanjutkan pertempuran, pijakan kaki mereka tidak mampu lagi berpijak di bumi. Di sini, al-Rabi’ bin Ziyad pun mewujudkan impiannya, impiannya menginjakkan kaki di bumi “negeri-negeri seberang sungai” itu. Entahlah, apakah ia menyadarinya atau tidak, bahwa apa yang ia lakukan itu akan menjadi jalan panjang yang mengantarkan islam hingga ke negeri-negeri lebih jauh, ke negeri-negeri Asia hingga wilayah Cina.

Ketika kedua kakinya pertama kali di tepian sungai sauhan itu, ia segera saja menghampiri tepian sungai tersebut, ia menjulurkan kedua tangannya ke dalam air sungai yang jernih mengalir itu. Ia berwudhu penuh bahagia. Usai melakukan itu, ia menghadap kiblat dan menunaikan sholat dua rakaat. Kata-kata tidak dapat lagi melukiskan isi hatinya hari itu, mimpinya menyeberangi sungai itu dan menancapkan panji tauhid di tanah itu kini telah tercapai. Dan seperti yang dikatakannya, “aku ingin menutup usiaku di dunia dengannya…..

Perang hari itu melimpahkan begitu banyak rampasan perang. al-Rabi’, sang gubernur memanggil budaknya, farrukh. Sambari tersenyum puas, ia mengatakan, “wahai farrukh, engkau sungguh mengangumkan, aku bangga padamu. Terimalah bagianmu dari rampasan perang ini! Dan sejak hari ini, aku bukan tuanmu lagi. Mulai hari engkau adalah orang merdeka.”

“benarkah tuanku??!”

“iya, Farrukh, sejak sekarang engkau bebas membawa dirimu ke mana saja engkau mau. Dan engkau berhak mendapatkan itu semua.”

Cahaya kebahagiaan tak mungkin disembunyikan dari wajah farrukh. Hari itu ia mendapatkan dua karunia duniawi, sebelum kelak mendapatkan akhirat. Bagian rampasan perang dan kemerdekaan sebagai budak. “Alhamdulillah, segala pujian dan rasa syukur hanya untukMu, ya Allah.” Gumamnya.

(Dua tahun setelah peristiwa “negeri-negeri seberang sungai”)

Tidak ada seorangpun yang tahu dimana ia akan mengakhiri hidupnya di dunia. Tidak juga seorang mujahid seperti al-Rabi’ bin Ziyad. Entah berapa medan perang telah ia saksikan. Dan hari itu, dua tahun setelah peristiwa besar yang dipimpinnya, ia menyambut panggilan tuhannya. Hari itu ia mengucapkan selamat tinggal pada dunia fana ini. Yah, dua tahun setelah peristiwa “negeri-negeri seberang sungai” itu…

Farrukh, pemuda Yang pernah menjadi budaknya kini tertunduk sedih. Tiba‑tiba saja dalam hatinya. sangat terasa ada sesuatu yang hilang entah ke mana. la seperti baru kali ini menyadari bahwa ia benar‑benar mencintai bekas tuannya itu. Tuan yang telah mengajarinya memahami arti kemuliaan yang sesungguhnya. Bahwa kemuliaan itu hanya milik mereka yang menjual dirinya kepada Sang Penguasa jagat raya satu‑satu, Allah Azza wa jalla.

Kini ia sungguh merasa seperti manusia sebatang kara. Memang, ia kini bukan lagi seorang budak, dan al‑Rabi' tidak lagi menjadi tuannya. Tapi bukankah kami tetaplah saudara di jalan Allah, begitulah seolah suara hatinya ... Di negri yang jauh ini, ia benar‑benar sepi.

Maka ia segera saja memutuskan. "Aku akan kembali ke Madinah," ujarnya. la tak ingin membiarkan godaan kenangan akan al‑Rabi' menari lebih lama di kepalanya. Segara ia kemasi barang‑barang, dan tak lupa harta rampasan perang yang diberikan oleh al‑Rabi' itu... la membawa semuanya kemball ke kota Rasul.

"Kota ini semakin hari semakin ramai saja," gumam Farrukh sendiri ketika untuk pertama kali menginjakkan kakinya kembali di kota Rasul itu. Dulu ia pernah hidup di sini. Tapi itu dulu. Sudah cukup lama ia pergi sejak menyertai bekas tuannya melakoni episode‑episode kepahlawanan di medan tempur. Dulu ia meninggalkan kota ini sebagai seorang budak. Dan kini, ia kembali ke sini membawa kemerdekaannya. Hmm, ia menarik nafas panjang. la sungguh bahagia. Sangat bahagia. Meski kenangan tentang al‑Rabi' tidak mudah, bahkan takkan pernah hilang dari hatinya...

Sekarang yang ia pikirkan ada dua hal. Pertama, ia harus mencari tempat bernaung. Dan kedua, rasanya ini sudah waktunya baginya untuk menemukan pasangan hidup yang menjadi sahabat berbagi kebahagiaan dan kesedihan menjalani hidup. Hmm, bukankah usianya sudah genap 30 tahun... dan kini di tangannya ada harta yang cukup untuk segera mewujudkan kedua rencananya itu.

Tidak sulit baginya untuk mendapatkan tempat bernaung. Sebuah rumah sederhana ia temukan di tengah kota Madinah, dan segera saja rumah itu menjadi miliknya. Tinggallah ia mencari seorang kawan hidup yang dapat menyejukkan hatinya. Dan tidak lama kemudian, ia pun telah menjatuhkan pilihannya kepada seorang wanita... la merasa inilah yang akan menjadi teman, menyertainya melewati hari-hari kehidupan dunia ini...

Ketenangan dan kebahagiaan yang selama ini ia impikan kini telah benar‑benar ia rasakan... Bahkan lebih indah dari yang ia impikan... subhanallah

Tapi...

Bukankah ini adalah kisah tentang seorang mujahid? Seorang mujahid yang jiwanya telah dibalut oleh kerinduan pada syuhadah di jalan Allah...

Rumah yang menaungi itu... Istri shalehah dengan segala karunia yang diberikan Allah padanya,... Duhai, nikmat apa lagi yang dapat menandinginya di dunia ini? Tapi, sekali lagi, ini adalah tentang jiwa seorang mujahid. Seorang mujahid itu punya kerinduan yang lain. Kerinduan yang tak dapat dikalahkan oleh kenyamanan hidup di dunia.

Dan kerinduan itulah yang "mengusik" kehidupan farrukh pada suatu ketika. Ia begitu menyayangi istrinya, dan ia telah merasa nyaman bernaung di bawah rumah mereka... Tapi hatinya dihinggapi rindu akan sesuatu...

Pekik takbir ... Suara ringkik kuda ... Ayunan pedang saling membentur ... mimpi akan surga dan bidadarinya “ah, semoga engkau pun menjadi bidadariku kelak,” gumamnya sendiri... Bayangan tentang itu semua tiba‑tiba menyeruak dan menghentak jiwanya.

Kerinduan‑kerinduan itu semakin menggila setiap kali ia menyaksikan pasukan‑pasukan kaum muslimin berderap memasuki kota Madinah dengan membawa kemenangan. Hingga di suatu jum'at yang terik, di Mesjid Nabawi, ia mendengar sang khatib membakar hati kaum muslimin untuk menjemput syahadah di medan jihad. Hatinya pun terbakar. sungguh terbakar api kerinduan yang dulu selalu ia bawa ke mana ia pergi, dan hingga kini...

"Istriku yang kucintai, aku sungguh memohon maaf padamu. Aku sama sekali tak ragu mengatakan bahwa aku sungguh mencintai dan menyayangimu. Engkau adalah belahan hati ini. Tapi engkau dan aku telah mengetahui ada cinta yang lebih tinggi dari cinta kita ini... "

Wajah istrinya tertunduk. Setidaknya ia sudah mulai memahami ke arah mana kalimat‑kalimat suaminya akan menuju...

"Iya, istriku. Di atas cinta kita ini ada cinta yang jauh lebih tinggi. Cinta kepada Allah, cinta kepada semua yang dijanjikanNya di negri Akhirat…” lanjutnya lalu terhenti.

"Besok aku akan memenuhi panggilan cinta itu, istriku, besok aku akan bergabung dengan pasukan kaum muslimin untuk berjihad di jalanNya,” tandasnya.

Beberapa tetesan air mata, jatuh dari kedua pelupuk wanita itu. Begitu cepat… rasanya baru kemarin mereka bertemu dan membangun mahligai kebahagiaan ini ... Dan kini perpisahan itu akan terjadi...

"Suamiku, aku sungguh mengerti kerinduanmu pada medan jihad. Tapi tidakkah engkau melihat janin yang ada dalam kandunganku ini ... Kepada siapa kami harus bernaung? Engkau bukan siapa‑siapa di kota ini. Tak ada sanak kerabat. Kepada siapa engkau akan menitipkan kami??" ujar sang istri menahan tangisnya.

"Aku akan menitipkan kalian kepada Sang Penguasa jagat raya ini. Aku akan menitipkan kalian kepada yang tak akan pernah menyia‑nyiakan titipan hamba‑Nya. Istriku, aku titipkan kalian kepada Allah…” ujarnya penuh keyakinan.

Sinar matahari yang terbit itu seolah mengingatkan Farrukh bahwa saat perpisahan itu telah tiba. Semuanya telah ia siapkan. Sudah tidak mungkin lagi mengubah rencana di saat seperti itu. la menolehkan mukanya untuk terakhir kalinya memandang wajah istrinya tercinta.

"Istriku, aku tinggalkan bersamamu 30.000 dirham ini. Inilah bagianku dari rampasan perang terakhir Yang kuikuti. Gunakanlah sebaik‑baiknya untukmu dan untuk anak kita kelak. Bersabarlah menantiku. Mungkin aku akan kembali membawa kemenangan atau syahid di jalan Allah.....”. Demikianlah kalimat terakhir Yang ia ucapkan pada sang istri. Dan ... ia pun menarik tali kekang kudanya... Berlalu menjemput takdir Allah untuknya.

Dan tinggallah wanita shalehah itu sendiri... tertegun... Sembari menghapus air matanya. la sedih, namun juga bangga di saat yang sama. Dalam hatinya ia berdoa semoga kelak dapat bersama dengan mujahidnya itu di surga...

Entahlah apa yang dapat kita katakan tentang kerinduan seorang mujahid seperti ini. Mereka menebar cinta pada karunia duniawi, tapi dengan kadar yang semestinya. Mereka tetap punya cinta untuk istri dan anak mereka. Tapi di saat yang sama, keyakinan akan cinta yang lebih tinggi tak pernah tergoyahkan oleh apapun. Itulah cinta kepada Allah. Di sinilah rahasia kebahagiaan mereka yang sesungguhnya. Hidupmu sungguh takkan bahagia bila engkau tidak meletakkan setiap cinta pada kadar dan tempat yang semestinya.

DEMIKIANLAH SEORANG IBU, SEMESTINYA...

Ini adalah sepenggal kisah untuk sebuah zaman di mana ribuan anak berjalan menapaki jalan hidup tanpa "kehadiran" seorang ibu ... Tidak! Ibu mereka masih hidup, bernafas bahkan tertawa. Tapi anak‑anak itu telah menjadi “piatu" sebelum ibu mereka meninggalkan dunia fana ini. Mereka "piatu", karena tidak lagi menghirup nafas‑nafas cinta dan kasih seorang ibu... Sungguh, kini mereka benar‑benar tidak tahu jalan pulang, jalan pulang ke negri akhirat.

Semoga penghuni‑penghuni zaman ini memahami sepenggal kisah ini...

Kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Madinah...

Setelah sekian bulan kepergian sang suami ke medan jihad... wanita itu akhirnya melahirkan bayinya. la gembira. Sungguh‑sungguh gembira. Wajah bayi yang berseri itu hampir saja membuatnya melupakan kepergian suaminya yang entah berjihad di bumi mana ... Entah masih hidup,… atau gugur sebagai syahid…

Namun saat wajah suaminya sekilas melintas di benaknya, air matanya nyaris jatuh. "Duhai, suamiku.. Entah di mana engkau sekarang... Engkau tak melihat putra kita. Lihatlah, betapa bersinarnya wajah itu...," gumamnya sendiri menahan tangis yang hampir saja tumpah.

Tentu saja ia tidak mungkin menanti suaminya untuk memberi nama pada anaknya yang baru lahir itu. Maka ia pun menamai putranya itu dengan Rabi'ah. Yah, bayi mungil itupun resmi bernama Rabi'ah. Sebuah nama yang kelak melahirkan decak kagum... kelak di kemudian hari.

Hingga detik itu, tidak satu pun berita yang benar-benar menjelaskan masih hidupkah suaminya? Apakah impiannya menjadi syahid‑lah yang tercapai? Banyak yang meyakinkannya dengan berita yang terakhir ini. Suaminya telah syahid. Betapa singkatnya perjumpaan mereka. Masih hangat, terlalu hangat bahkan semerbak malam‑malam pertama pernikahan mereka... Lalu tiba‑tiba saja, malam itu ia mengutarakan kerinduannya kembali ke medan jihad... Kerinduan Farrukh, suaminya itu, adalah kerinduan yang tak mungkin dibendung ... (Hm, adakah yang sanggup membendung kerinduan seorang mujahid pada surga??). Wanita itu merestuinya pergi, dengan mimpi yang sama kelak berjumpa di surga Firdaus ... Sebelum pergi, Farrukh “menitipkan” sang janin dalam perutnya dan uang sebanyak 30.000 dirham. "Gunakanlah uang ini hingga kelak aku kembali ... atau syahid di jalan‑Nya," demikian kata perpisahan sang mujahid itu sesaat sebelum meninggalkan sang istri bersama buah hati dalam kandungannya.

Ah, tapi itu kisah lama. Kini putra mereka satu‑satunya, Rabi'ah, telah semakin besar. Sebagai ibu sekaligus ayah bagi Rabi'ah, ia tidak menyia‑nyiakan sedikit pun amanah Allah itu. Sejak anak itu mulai memahami, ia telah diserahkan oleh ibunya kepada guru‑guru yang mengajarinya membaca dan menulis. Anak itu memang cerdas. Karena tidak lama kemudian ia telah menggenapkan hafalan Al‑Qur'an‑nya, lalu tanpa kenal henti, ia pun menghafal sabda‑sabda Rasulullah r

Nafas‑nafas cinta wanita itu menerangi setiap langkah putranya. Uang 30.000 dirham itu... ah, tidak ada artinya. Demi anaknya, demi menjalankan amanah “mujahid”nya yang entah di mana... uang 30.000 dirham itu tidak bernilai untuknya. Semuanya ia infakkan untuk putranya demi menyelami semua lautan ilmu...

Hingga suatu hari, ketika Rabi'ah semakin dewasa dan tumbuh menjadi seorang pemuda, wanita itu memanggilnya, "Putraku, kini engkau semakin dewasa, tidakkah engkau ingin menjalani pekerjaan tertentu demi menafkahi hidupmu kelak??"

Putranya tersenyum. “Ibu, dalam hatiku, aku tidak punya pilihan lain lagi. Aku sudah memutuskan untuk meniti jalan ilmu ini, inilah yang terbaik bagiku” ujarnya pada sang ibu.

Wanita itupun tersenyum. la bahagia mendengarkan pilihan putranya. Yah, inilah jalan terbaik untukmu, Nak... Tidak! Bukan hanya untukmu, tapi untukku, ibumu dan juga ayahmu... Kelak bukakanlah untuk kami jalan indah menuju surgaNya. Begitulah suara hatinya berbisik.

Beruntunglah pemuda Rabi'ah ini. la hidup di sebuah zaman di mana mata air‑mata air ilmu dan pekerti masih terlalu jernih mengalir... kehausan dan kedahagaannya yang dahsyat terpuaskan di sumber‑sumber mata air itu. la hidup di sebuah zaman di mana para sahabat Nabi r seperti Anas bin Malik y masih hidup. Para tabi'in sekaliber Sa'id ibn al‑Musayyib dan Salamah ibn Dinar juga adalah di antara "mata air‑mata air" yang ia reguk kejernihan ilmunya.

Lihatlah pemuda itu! Rasa haus dan dahaganya seperti tak pernah habis. la bagaikan meminum air laut. Hari‑harinya ia lewatkan untuk mendatangi mata air‑mata air ilmu itu... dan malam‑malamnya juga tak jauh berbeda. Tanpa mengenal rasa lelah... sedikit pun.

Dengarkanlah apa jawabnya ketika suatu saat seseorang berkata padanya, "Wahai anak muda, kasihanilah dirimu sendiri. Engkau tak kenal henti memburu dan mendatangi para ahli ilmu itu. Biarkanlah tubuhmu sejenak melepaskan kepenatan dan kelelahannya..."

Engkau ingin mendengar apa jawabnya? la mengatakan "Maaf, tuan. Guru‑guruku telah berpesan bahwa ilmu ini tidak akan memberikan sebagian dari dirinya hingga engkau memberikan seluruh dirimu padanya." Begitulah jawabnya, jadi tak ada gunanya engkau mengingatkannya untuk rehat, meski sejenak.

Demikianlah, dan sunnatullah kehidupan, memang telah menggariskan bahwa kemuliaan bukanlah warisan turun‑temurun... bukan pula sesuatu yang dapat diraih tanpa kesungguhan tak kenal henti. Dan seperti itulah sunnatullah yang berlaku pada pemuda Rabi'ah. Mimpi‑mimpi ibundanya selama ini tentangnya semakin lama semakin menampakkan dirinya. Bintang pemuda ini perlahan‑lahan memancarkan cahayanya di kota Madinah. Datanglah ke sana dan tanyakanlah tentang pemuda Rabi'ah ini... niscaya engkau tidak butuh waktu lama untuk mengetahuinya. hidupnya kini terbagi dua. Sebagian waktunya ia gunakan untuk keluarganya, dan sebagiannya lagi adalah untuk mengalirkan mata air keilmuannya... di mesjid Rasulullah,… iya, kini pemuda Rabi'ah bukan lagi "pemuda" Rabi’ah ... Kini ia adalah "Syekh" Rabi'ah! Ratusan orang, bahkan mungkin ribuan orang kini duduk di majelisnya. Maka ‑seperti kukatakan padamu‑, datanglah ke sana, lalu tanyakanlah tentang Rabi'ah al‑Ra'yi... engkau takkan lama menunggu untuk mengetahuinya...

Kota Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam, Madinah yang penuh cahaya...

Malam itu, rembulan memantulkan cahayanya yang lembut. Penduduk kota baru saja menunaikan shalat lsya' ketika itu...

Seorang pria berjalan sendiri. Pria tua, baru saja ia tiba kembali di kota ini. Hmm, 30 tahun sudah berlalu, bisiknya. Kini usiaku telah memasuki 60 tahun, lanjut bisik hatinya. Sepanjang jalan hatinya hanya dipenuhi berbagai pertanyaan. la bertanya pada dirinya sendiri. la bertanya tentang rumahnya, tentang istrinya, masih hidupkah ia?, tentang anaknya, ah... laki‑laki atau perempuankah ia? Tapi ia tak punya jawaban. Dan ia pun tak ingin bertanya kepada orang‑orang yang ditemuinya. la ingin melihatnya sendiri...

Pria tua ia berenang‑renang dalam gelombang pikirannya sendiri. Syukurlah, penduduk Madinah sama sekali tidak memperhatikannya... pria dengan pedang tergantung di pundaknya dan tali kekang kuda di tangannya... penampilan khas seorang mujahid. Pemandangan seperti itu biasa mereka saksikan. Lorong demi lorong kota ia lewati. Hingga tanpa ia sadari, ia tiba di depan sebuah rumah... inikah rumahku yang dulu? Nyaris tidak ada yang berubah, bisiknya. jantungnya semakin kencang berdebar. Berdebar karena kegembiraan yang meletup‑letup. Kegembiraan itu mendesaknya begitu kuat hingga ia merasa tidak perlu lagi mengetuk pintu... la langsung saja mendorong pintu yang memang tidak terkunci itu...

Kreek!...

Suara itu didengarkan oleh si empunya rumah. Dari lantai atas rumahnya ia melihat ke bawah. Siapa dia? Samar-samar ia melihat seorang pria dengan sebilah pedang tergatung di pundaknya... dan istrinya berdiri tak jauh dari tempat pria tua itu berdiri...

"Kurang ajar!! Siapa kau, wahal pria tua??! Malam-malam seperti ini kau berani masuk ke sini dan mengganggu istriku??! “ teriak si empunya rumah sambil meloncat turun dan menyerang pria tua itu.

Tidak ada kesempatan untuk berbicara. Bahaya jika pria tua ini kubiarkan, pikir si empunya rumah. Dua pria itu saling beradu. Mereka berkelahi hingga keluar rumah. Suara mereka begitu ribut dan ramai. Orang‑orang yang tinggal di dekat rumah itupun berhamburan keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi.

"Kurang ajar sekali orang tua ini!! la ingin mengganggu istriku!!" teriak pria muda si empunya rumah itu pada tetangga‑tetangganya... Orang‑orang itu pun mengelilingi pria tua itu. Tentu saja mereka tak mengenalnya… baru kali ini mereka melihatnya.

"Demi Allah! Aku takkan melepaskanmu kecuali di depan qadhi, wahai orang tua!!" ujar si empunya rumah geram.

"Aku bukan penjahat, wahai anak muda! Aku tak melakukan kesalahan apapun. Ini adalah rumahku!! Milikku!! Apa yang salah?! Salahkah jika aku melihat pintunya terbuka Ialu aku masuk ke dalamnya?! " balas pria tua itu.

la lalu menoleh kepada semua orang yang mengelilinginya. "Apa tidak ada lagi di antara kalian yang mengenaliku??! Aku Farrukh!! Ini rumahku, akulah yang membelinya Kini aku kernbali setelah 30 tahun lamanya aku di medan jihad!!" jelasnya.

Tiba‑tiba seorang wanita tua menyeruak keluar dari rumah itu. "Biarkan dia!! Anakku Rabi'ah, biarkan orang tua itu masuk, Nak!! Dia ayahmu!!" teriak wanita itu. "Duhai Farrukh!! jangan kau sakiti dia!! Dia anakmu ... darah dagingmu!!" ujarnya sembari menatap pria tua itu.

Semuanya tertegun. Semua ini terjadi setelah 30 tahun lamanya. Pertemuan seorang istri dan anak dengan sang suami dan ayah... yang dianggap telah tiada dan menghadap Allah. Tiga anak manusia itu tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun untuk beberapa saat. Hati jualah menggerakkan sang istri dan anak itu meraih tangan Farrukh lalu menciumnya... dan Farrukh merangkul memeluk mereka... Namun tiada kata‑kata...

Bahagia. Sangat bahagia bahkan. Itulah kata‑kata yang dapat menggambarkan perjumpaan yang mengejutkan itu. Antara seorang ayah yang pulang kembali ke pangkuan keluarganya setelah 30 tahun lamanya, seorang ibu yang telah merelakan kepergian sang suami untuk selama-lamanya dan seorang anak yang lahir lalu tumbuh menjadi dewasa, tanpa sekalipun memandang wajah sang ayah. Dan malam itu, semuanya larut dalam arus kebahagiaan itu...

Namun sang ibu tiba‑tiba teringat akan suatu hal. Ini membuatnya menjadi sedikit gelisah. la gelisah karena entah harus menjawab apa jika suaminya bertanya tentang itu. Akankah ia akan percaya padaku jika kukatakan padanya bahwa titipannya telah habis?, bisiknya sendiri dalam hati. Iya, wanita ini bingung memikirkan 30.000 dinar yang 30 tahun lalu "dititipkan" Farrukh padanya. Ingatan ini menyeretnya keluar sejenak dari arus kebahagiaan perjumpaan itu...

"Ummu Rabi'ah” tiba‑tiba sang suami mengejutkan dan membuyarkan lamunannya. "Ini aku bawakan untukmu 4.000 dinar. Aku ingin kita menggabungkannya dengan 30.000 dinar yang dulu kutitipkan padamu, " lanjut Farrukh sambil mengeluarkan sebuah kantong.

Wanita itu terhenyak. Nafasnya serasa berhenti. Apa yang, ia khawatirkan kini terjadilah ... Untuk sesaat lamanya ia hanya diam.

Ayolah, istriku... tunjukkan padaku uang yang dulu kutitipkan padamu itu!"

Baiklah, aku toh tetap harus menjawab dan menjelaskannya, bisik Ummu Rabi'ah untuk dirinya sendiri.

Engkau tak usah khawatir, suamiku. Uang itu telah kuletakkan di tempat yang sernestinya. Insya Allah, dalam beberapa hari ini aku memperlihatikannya padamu... bersabarlah!" jawabnya sembari berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Allahu akbar Allahu akbar..

Suara adzan subuh tiba‑tiba memutuskan pembicaraan mereka berdua. Farrukh pun bergegas mengambil air wudhu, dan ternyata Rabi’ah, putranya telah lebih dulu berangkat ke mesjid Rasulullah…

ah, ia rindu pada mesjid itu. 30 tahun lamanya ia tidak bersujud di dalamnya. Dan ia benar‑benar rindu...

Sang imam telah menuntaskan shalat subuhnya ketika ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam mesjid sang Rasul itu. la pun mengerjakannya sendiri. la menumpaskan semua penghambaanya pada Allah di sana.

Setelah ia puas menumpahkan kerinduannya pada mesjid itu, Farrukh pun melangkah keluar dari mesjid itu. Tapi baru saja ia hendak melangkah keluar, sebuah halaqah ilmu telah terpampang di hadapannya... belum pernah ia melihat sebuah majelis ilmu seramai ini, hingga nyaris tak ada tempat untuk kaki melangkah. Semua yang duduk di situ menyimak sang "syekh" yang menyampaikan mutiara-mutiara ilmunya... Farrukh tidak terlalu jelas melihat wajah sang syekh. Tempatnya berdiri terlalu jauh untuk dapat melihatnya. Tapi, ah... tidak mengapa, bisiknya. Aku sudah cukup puas dapat menyimak petuah‑petuahnya dari sini, bisiknya lagi.

Setelah sang "syekh" selesai menyampaikan wejangannya dan menutup majelisnya, murid‑muridnya mendekatinya seraya berdesak‑desakan. Ketika itu, Farrukh menoleh pada seorang pria yang duduk di sampingnya,

"Demi Allah, bisakah engkau katakan padaku siapa gerangan syekh yang luar biasa. itu?" tanyanya.

"Anda bukan penduduk kota ini??!" Tanya pria itu keheranan.

"Aku penduduk kota ini... "

"Apa mungkin ada penduduk kota ini yang tidak mengenal syekh itu??!" semakin heranlah pria itu.

"Maaf, aku memang tidak mengenalnya. Aku memang penduduk kota ini, tapi setelah 30 tahun lamanya baru tadi malam aku kembali ke sini..." ujar Farrukh mencoba menjelaskan kondisinya.

"Baiklah, aku dapat memahami keadaan Anda...," kata pria yang ditanya itu. "Syekh yang Anda tanyakan itu adalah muhaddits (ahli hadits) kota ini. Meskipun usianya masih muda, tapi cobalah Anda lihat siapa yang hadir di majlisnya. Anda akan menernukan Malik bin Anas, Abu Hanifah, Sufyan al‑Tsauri dan banyak lagi nama‑nama terkenal lainnya yang duduk di majlis ini” jelas orang itu panjang lebar.

"Tapi…” potong Farrukh.

"Dan lebih dari itu, syekh muda ini juga masyhur sebagai orang yang dermawan dan sangat zuhud terhadap dunia” lanjut pria itu seolah tak memberi kesempatan pada Farrukh untuk berbicara atau bertanya.

"Tapi Anda belum memberitahukan padaku siapa namanya..." kejar Farrukh.

"Oh, maaf, Tuan. Namanya adalah Rabi'ah... ya, Rabi'ah al‑Ra'y" jawab pria itu.

"Rabi'ah al‑Ra'y??!"

"Iya, Rabi'ah ar‑Ra'y. Sebenarnya namanya adalah Rabi'ah, tapi orang‑orang lebih sering menyebutnya Rabi'ah ar-Ra’y[5], karena ia sering membantu mereka memecahkan persoalan jika mereka tidak menernukan penjelasannya dalam al‑Qur'an atau as‑Sunnah..." jelas pria itu.

Farrukh semakin penasaran. la memegang pundak pria itu. "Tapi anda belum menyebutkan nasab keturunannya padaku…” kejar Farrukh.

Oh, ya. Namanya yang sebenarnya adalah Rabi'ah bin Farrukh. Hm, Tuan, jika saja anda tahu betapa hebatnya ibunda syekh muda itu... Syekh itu dilahirkan oleh sang ibu ketika ayahnya pergi ke medan jihad. Tapi ia benar‑benar menunaikan amanahnya sebagai ibu. Cinta dan kasihnya pada sang anaklah yang kemudian ‑dengan izin Allah- melahirkan seorang Rabi'ah al‑Ra'y yang Anda lihat itu, Tuan," kata pria itu. "Dan.." lanjutnya "Kemarin malam kudengar ayahnya telah kembali... "

Farrukh terdiam. Matanya sembab. Air matanya perlahan jatuh menetes membasahi pipinya. Sang mujahid yang melewati 30 tahun usianya di medan jihad itu menangis. la pergi berlalu meninggalkan pria itu yang terjebak dalam kebingungan menyaksikan air matanya...

"Ada apa denganmu, wahai suamiku??!" tanya Ummu Rabi'ah pada suaminya. la terkejut melihat suaminya pulang dalam keadaan menangis.

"Ah, tidak, istriku... Aku baik‑baik saja. Sangat baik bahkan. Aku sungguh‑sungguh bahagia. Pagi ini kulihat putra kita, aku tak pernah menyangka kini ia telah menjadi seorang alim besar di kota ini” ujar Farrukh.

Ummu Rabi'ah tersenyum. Didekatinya sang suami. la meraih tangan suaminya, lalu bertanya, "Suamiku, masih ingatkah engkau akan 30.000 dinar itu? " tanyanya. "Iya, tentu saja, istriku..." jawab farrukh.

"Manakah yang akan engkau pilih, suamiku; 30.000 dinar itu atau kemuliaan yang telah diraih putramu itu??"

"Tidak, demi Allah. Bahkan seluruh isi dunia ini takkan sanggup membayar kemuliaan putraku itu ... Ah, apalagi hanya 30.000 dinar itu, sungguh tak bernilai sama sekali," jawabnya.

Istrinya semakin tersenyum. Di dekatkannya wajahnya ke wajah sang suami. "Suamiku yang kucintai, hari ini kukatakan padamu, harta yang engkau tinggalkan padaku telah kugunakan untuk semua yang engkau saksikan pagi ini di masjid Rasulullah ... lya, aku telah menggunakannya di jalan yang semestinya..." ujar Ummu Rabi’ah. "Apakah engkau masih akan menanyai dan menuntutku tentang 30.000 dinar itu, wahai suamiku??" tanyanya lagi.

Farrukh menatap wajah istrinya. la tersenyum. "Tidak, istriku. Aku hanya mendoakan semoga Allah membalas semua kebaikanmu ... Sungguh, kebaikanmu ini bukan hanya untuk putramu seorang, tapi untuk seluruh kaum muslimin ... Engkau telah mempersembahkan untuk mereka seorang ‘alim penuntun jalan mereka. Terima kasih, istriku. jazaakillahu khairan... " ujar Farrukh.

Duhai, betapa sempurnanya nikmat Allah itu ia rasakan dalam jiwanya...

Sekali lagi, kisah ini adalah untuk zaman ini dan zaman-zaman mendatang. Atau zaman manapun di mana anak‑anak "kehilangan" bunda‑bunda mereka. Mereka tumbuh sendiri. Tersaruk‑saruk langkahnya di jalan pulang ke negeri akhirat. Tidak, bukan hanya anak‑anak itu yang kehilangan bunda mereka. Zaman inilah yang kehilangan bundanya. Duhai, apa jadinya dunia ini jika setiap hari satu persatu para bundanya tidak lagi merasa jadi seorang ibu ... Seorang ibu dengan segenap cinta dan kelembutannya ...

Ummu Rabi'ah, kami sungguh menanti "kehadiranmu" di zaman ini, dan di setiap zaman ...


[3] Sebuah sungai besar yang terletak setelah kota Samarqan

[4] Negeri-negeri di seberang sungai” istilah yang di tujukan untuk negeri-negeri bekas jajahan Rusia

[5] Al‑Ra'y artinya pemikiran clan logika. Biasanya istilah ini digunakan untuk pandangan pribadi seseorang terhadap suatu masalah. Dalarn fiqih Islam, istilah ini identik dengan ijtihad yang dilakukan oleh para ulama mujtahid untuk menyimpulkan hukum suatu masalah.

0 komentar:

Post a Comment